BAB I
MA’RIFATULLAH
A.LATAR BELAKANG
Ma’rifatullah iyalah Mengenali Allah
dengan pengenalan yang khususus tiadalah dengan dituntut atau diusahai ,tetapi
adalah dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya,
Di dalam kitab Tukhfaturragibin
menjeleskan bahwa tingkatan ma’rifah kepada Allah itu ada tiga perkaara;[1]
1. MA’RIFAH ILMU YAQIN
Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu mengenali Allah
dengan secara ilmiyah, yaitu setelah mempelajri ilmu tauhid dengan mengerti dan
dapat pula mendirikan dalil akal sendiri hingga tersimpullah dalam hatinya
kepercayaan kepada Allah dan rasulnya, sehingga terhimpunlah dalam hatinya
sifat-sifat kesucin tuhan dan kebesarannya. Inilah yang dikatakan شعاع البصيرة (cahaya mata hati) atau nurul akli tingkatan dan pengenalan ini
dapat dipelajari dan diusahai.
شعاع
البصيرة يشهدك قربه منك وعين البصيرة
يشهدك عدمك لوجوده وحق البصيرة يشهدك وجوده لا عدمك ولاوجودك
Artinya:’’cahaya mata hati itu menyaksikan engkau akan
kehampiran tuhan daripada mu, dan pandang mata hati itu menyaksikan
engkau akan ketiadaan dirimu bagi adanya tuhan, dan kebenaran pandang mata
hati itu membuktikan engkau akan adanya Allah, bukan menunjukan ketiadaan mu
dan tidak pula menunjukan adanya engkau.
2. MA’RIFAH AINUL YAQIN
Ma’rifah ainul yaqin, yaitu setelah
mempelajari pengenalan yang pertama tadi ,maka diamalkanya dengan bersenguh-sengguh. Maka jika Allah
menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya, maka iya memandang kepada Allah
dengan mata hatinya, dia tidak lagi memandang dirinya ada dan akwan sekalian,
kerena semuanya itu telah pana dan binasa dalam pandangannya pada ketika itu,
yang kedua ini dinamakan ainul basirah atau nurul ilmi. Dan ini tidak dapat
dipelajari dari guru, tetapi iya adalah pembarian tuhan kepada siapa-siapa yang
banyak mengemalkan pengenalan yang pertama tadi, seperti sabda nabi Muhammad
saw :
بما علم ورثه الله علم مالم يعلم من عمل : Artinya :barang
siapa meamalkan apa yang telah diketahuinya niscaya Allah akan
memberinya ilmu yang belum lagi diketahuinya.
3. MA’RIFAH HAQQUL YAQIN
Ma’rifah haqqul
yaqin, yaitu setelah mencapai pengenalan yang kedua tadi. Dia tidak memandang
lagi kepada ada dirinya atau tiadanya, hanya yang dipandangnya adalah zat yang
maha suci. [2]
Oleh kerena itu orang yang ‘arif (Orang yang kenal dengan
Allah) kenal dengan sifat-sifatnya kenal dengan makhluknya seperti sabda nabi
kita Saw : من عرف نفسه عرف ربه
Artinya :siapa-siapa yang kenal akan dirinya kenallah iya akan
tuhannya, maksudnya siapa-sipa mengenal dirinya bersifat lemah, faqir, hina
tentulah tahu pula iya bahwa tuhannya itu bersifat kuasa, kaya, muliya dan
lainnya. Allah telah mewahyukan kepada nabi daud alaihissalam katanya :Hai daud
kenalilah aku dan kenalilah dirimu. Nabi daud menjawab hai tuhanku! Aku
mengenali engkau dengan ke isaan, engkaulah yang tunggal, engkaulah yang kuasa
lagi kekal,dan tahu pula aku bahwa diriku lemah dan binasa. Maka berfirman
tuhan : hai daud sekarang engkau telah kenal akan daku. Tetapi hendaklah kita
ingat bahwa pengenalan kepada Allah itu bertingkat-tingkat seperti yang telah
disebutkan diatas tadi. Maka yang dikehendaki perketaan ‘arif billah itu iyalah
pengenalan yang telah meningkat,orang yang telah bermujahadah beberapa lama
masanya sehingga dibukakan Allah hijab. maksud mujahadah iyalah: orang yang
berjalan menuju rahmatillahita’ala sungguh payah dan susah awalnya kerena
saytan selalu mengganggu dan menghalangi dan menyimpangkan jalan kepada Allah
dengan alat senjatanya yaitu nafsu dengan menghiasi oleh saytan akan nafsu
hamba dengan macam-macam sayhwat kepada makhluk seperti: anak istri dan
lainnya, atau dunia seperti harta, usaha, makanan serta kedudukan dan lainnya,
maka jalan mujahadah ya’ni melawani nafsu adalah jalan selamat menuju Allah,
kalau tiada mujahadah jadilah semua itu menghalangi ‘ibadah dan menuntut ilmu
dan bila mujahadah maka Allah jadikan semua itu membantu kepada ta’at ‘ibadat
kepada Allah,bersabda Rasulullah saw :خفت الجنة بالمكاره وخفت النارباشهوات Arinya:
dikelilingi jalan surga dengan segala yang dibenci nafsu dan dikelilingi jalan
neraka dengan segala keinginan nafsu.
Alhasil ada empat macam yang menghalangi ibadah, dua macam yang
tiada kelihatan yaitu nafsu dan saytan dan dua macam yang kelihatan yaitu makluk
dan dunia, nafsu adalah musuh didalam diri hamba dan iya lebih jahat dan
berbahaya dari tujuh puluh saytan kerena akal dan agama terkadang menjadi
bingkuk kerena nafsu, sabda Rasulullah saw :أعدي عدوك نفسك التي بين جنبيك.Artinya :sepaling jahat musuh engkau adalah nafsu engkau yang
letakanya diantara dua lambung engkau.[3]
Abu Yazid
Albustami pernah berkata :berhenti aku
selama dua belas tahun menimpa diriku (mujahadah) dan lima puluh tahun aku
mencerminnya dan satu tahun aku
memperhatikan antara keduanya maka tiba-tiba tampaklah pada punggungku
pengikat. Maka aku berusahalah memutuskannya selama lima tahun setelah diputus
tampaklah pandanganku bahwa makhluk itu semunya mati, maka bertakbirlah aku
atas merika empat kali.
Abu Yazid itu adalah satu-satunya wali besar yang telah sampai
ma’rifatnya kepada Allah dengan terbuka hijab. Pada permulaannya dia mengerasi
dirinya dengan mengerjakan ibadah yang payah-payah dan berat terhadap nafsu, dan menghilangkan
sifat-sifat kerusakan hati seperti ‘ujub, kibir,hiris, hiked, hasad, dan
sebagainya. Menghilangkannya itu dengan amal taqwa, yaitu mengerjakan perintah
dan menjauhi larangannya. Amal taqwa itu adalah pekerjaan yang sangat berat,
tidak mudah dikerjakan. Maka disangkanya bahwa dirinya telah bersih dari segala
sifat kecelaan, setelah dia menilik kedalam hatinya tampaklah baginya bahwa
pada hatinya bahwa masih ada ketinggalan siyrik khafii (riya) dan masih menilik
kepada amal dan masih mengingat kepada pahala dalam beramal dan menakuti siksa
jika meninggalkannya, dan meng ingini kepada karamat dan pembariyan. Kerena
kalau masih mengharap-harap pembalasan dalam beramal adalah iya menghilangkan
ikhlas, yang maksudnya hendaklah beramal itu kerena Allah semata-mata,inilah
yang dinamakan ikhlas orang yang khawas. Setelah dibersihkannya semua sifat
kerusakan itu serta digantikannya dengan sifat kepujian tebukalah baginya
dinding kegelapan dirinya dan diya dapat berpandangan dengan orang yang
menjadikannya dan berpaling dari makhluk sekalian kerna pandangannya tertuju
kepada Dzat yang wajib ada.
Abu Bakar
Asy-Sybli pernah berkata demikian, “Allah Dzat yang Esa diketahui keesaan-Nya
sebelum ada batasan dan huruf. Maha suci Allah yang tidak ada batasan bagi
Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kala-Nya.”
Berkaitan dengan
ini,imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang
diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliyau dijawab,”Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah: (الذاريات:56) وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون Artinya: “Tidak aku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah (ku).” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Oleh ibnu Abbas “illa a liya’budun “ (kecuali untuk menyembah-ku)
diartikan “illa liya’rifuun” (kecuali untuk berma’rifat yaitu
mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan allah).
Imam Al-junaid
berkata, “sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu
yang bersifat hikmah adalah mengetahui sang pencipta atas keterciptaan dirinya;
kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya; sifat keperbedaan sang pencipta dari
sifat makhluk; sifat keperbedaan “ Dzat yang lama” dari “yang baru” (alam);
menurut pada ajakan-nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat sang
prnguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang
status kepemilikannya untuk sispa.”
Menurut Abu Thayib
Al-Maraghi, setiap unsure dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang
berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada allah. Akal, menurutnya,
mamiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah member isyarat, dan
ma’rifat member kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan,
dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh
kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata imam Al-Junaid, tauhid berarti
pengesa’an dzat yang esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-nya.
Sesungguhnya dia dzat yang esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Pengesaan-nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan,
dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran,
pengasosiaan, dan penyimbolan. Tak satu pun di semesta ala mini yang
menyamai-nya. Dia adalah dzat yang maha mendengar dan melihat.
Pendapat itu tak
beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar Az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat
adalah nama; artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya
dari sikap ateis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada tuhan dan keberadaan
pengakuan yang disertai penyerupaan).
B.Sifat-sifat allah
“Tauhid adalah pengetahuan anda bahwa bagi dzat allah tidak ada
keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifat-nya” kata Abu Hasan
Al-Busyanji.
Sementara Husin
bin manshur mendefinisikanya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama.
Menurutnya sifat “lama” adalah bagi-nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad
penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk menjadi adalah keharusan;
sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka
perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu
suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan
keberadaannya; sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahan waktu adalah
lawannya; sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan disitu
menjadi keniscayaan; dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka
penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan member
perlindungan di mana tempat-nya berada, maka tuhan tidak berlindung di tempat
atas, tidak di bawah, tida menerima pembatas, tidak didesak dengan keterhimpitan
selain-nya di sisi-nya, tidak dijangkau oleh yang belakang, tidak dipagari oleh
yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-nya, tidak dikumpulkan oleh
yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak
ada. Sifat-nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-nya tidak bersebab,
keberadaan-nya tidak berbatas, segala-nya terbebas dari tingkah laku makhluk.
Kemahapenciptaan-nya tidak ada pasangan-nya, perbuatan-nya tidak ada alasan.
Keterdahuluan-nya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.
Jika kamu
mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka keberadaan-nya sungguh melampaui waktu
yang berlalu; jika kamu mengatakan, “huwa” – kata ganti tunggal untuk
allah yang berarti dia” ,maka huruf “Ha’”
dan “Wawu” itu sendiri adalah makhluk; dan jika kamu bertanya,
“Dimana?”, maka keberadaan-nya telah mendahului tempat.
Huruf-huruf adalah ayat-ayat nya
(tanda-tanda-nya); keberadaan-nya adalah ketetapan-nya; ma’rifat-nya adalah
pengesaan terhadap-nya; pengesaan-nya adalah membedakan-nya dari makhluk-nya.
Apa yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-nya.
Bagaimana sesuatu yang dari-nya; pengsaan-nya adlah membedakan-nya dari
mkhluk-nya. Apa yang tergambar dalam khayalan
adalah berbeda dengan keadaan-nya .Bagaimana sesuatu yang dari-nya
bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepada-nya apa yang telah
disusun-nya.Perasangkaan-perasangkaan tidak mampu meneri tuhan. Kedekatan-nya
adalah keramah-nya dan keterjauhan-nya. Ketinggian-nya tanpa naik;
kedatangan-nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat yang pertama, Tarakhir, Tampak,
Tersenmbunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada susuatu yang menyamai-nya. Dia Maha
Mendengar dan Melihat.
Yusuf bin Husin
bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun Al-Mishri lalu
bertanya, ‘Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh beliau dijawab,
‘hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja
sama; penciptaan-nya tanpa sebab atau alasan; penyebab keterciptaan sesuatu itu
sendiri juga ciptaan-nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi
penciptaan-nya. Tak ada yang dilangit dan di bumi menjadi tinggi dan rendah
sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukis di
khayalan manusia adlah berbeda dengan kebaradaan Allah.
Bagi Imam
Al-Junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah Dzat
yang tunggal dalam keabadin dan keterdahuluan-nya; tak ada pihak kedua yang
menyertai-nya. Apa pun yang bergerak dialam tidak bekerja dengan sendirinya.[4]
Menurut Abu husin
An-Nuri, Tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa
disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar- Rudzabari ketika ditanya
tentang tauhid menjawab demikian, “ Tauhid adalah ketetapan hati secara kontinu
dan stabil akan keesaan-Nya dengan penatapan pemisahan pengingkaran tuhan
(ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan tuhan ). Tauid mengkristal dalam satu
kalimat, yaitu setiap apa yang digambarkan khayal dan akal adalah bukan tuhan ,
Allah maha suci dari semua itu .
ليس كمثله شئ وهوالسميع البصير “Tak ada keserupaan sedikit pun bagi-nya.dia maha mendengar dan maha melihat. “(QS. Asy- Syuura: 11)
ليس كمثله شئ وهوالسميع البصير “Tak ada keserupaan sedikit pun bagi-nya.dia maha mendengar dan maha melihat. “(QS. Asy- Syuura: 11)
Dzu nun Al-Mishri pernah ditanya seseorang tentang ayat yang
berbunyi :الرحمن على
العرش استوى “
Tuhan yang Maha pemurah, yang bersemayam diatas arasy. “ (QS. Thaha:5)
Lalu
dijawab, “Dzat-nya tetap, tempat-nya tidak ada, sebab dia ada dengan dzat-nya;
sedang segala Sesutu ada dengan hukumnya menurut kehndak-nya.’’
Sedangkan
menurut Asy- Syibli firman itu bermakna: Ar-rahman bersifat
kesenantiasaan (tidak bergeser), Al-Arasy (singgasana-nya) bersifat
baru,dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun ja’far bin Nashar mengertikannya
bahwa ilmuny menyeluruh dengan segala sesuatu. Kerna itu, tak ada yang lebih
dekat kepadanya dari sesuatu yang lain.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dengan demikian Ma’rifatullah iyalah mengenali
Allah dengan pengenalan khusus tiadalah dengan dituntut atau diusahai, tetapi
dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya ,
Ma’rifatullah itu ada tiga
tingkatan
1.
Ma’rifah imu yakin, yaitu mengenal Allah dengan secara ilmiyah
serta dapat mendirikan dalil akal yang tahqik.
2.
Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu setelah mempelajari pengenenalan yang pertama tadi,maka diamalkannya dengan
bersungguh-sungguh ,jika Allah menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya,
maka iya memandang Allah dengan mata hatinya.
3.
Ma’rifah haqqul yaqin, yaitu setelah iya mencapai pengenalan yang
kedua tadi, maka iya tidak lagi memandang kepada ada dirinya atau tiadanya.
Sifat-sifat Allah swt.
Ketahuilh “ tauihid adalah
pengetahuan anda bagi dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan
bagi sifat-sifatnya.
Bagi imam Al-junaid, tauhid berarti
pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah dzat yang tunggal dalam keabadian
dan keterdahuluannya, tak ada pihak yang kedua yang menyertainya, apapun yang
bergerak di alam tidak bekerja dengan sendirinya. Wallahu aa’lam bissawabb.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muhammad sarani al-albi. 1983. Futuhal arifin fi bayani
aa’maalissalikn walwasiliin ilallahita’ala.
2.
Abu Muhammad zaini annur hidayatullah.kitab sulukul abdi ila
ma’rifatillah.
3.
Muhammad sarani al-alabi, 1975, Tukhfaturragibin fi bayani
tarikissalikin.
4.
Abul Qasim Abdul karim hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, risalah
Qusyairiyah sember kajian ilmu tasauf.
[1] Tukhfaturragibin fi bayani tarikissalikin .susunan asykh al haji
Muhammad sarani,al albi
[2] Kitab futuhal ‘rifin fi bayani a’amalis salikin walwasilina
ilallahi ta’ala,susunan asykh al haji Muhammad sarani al alibi,1983.hlm 37.
[3] Kitab sulukil abdi ila ma’rifatillah, hlm 22.
[4] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi, Risalah Qusyairiyah sumber kajian ilmu tasauf,
hlm 40,45.
terus bang ..
BalasHapus