Selasa, 01 Januari 2013

ma'rifatullah



BAB I
MA’RIFATULLAH
A.LATAR BELAKANG
            Ma’rifatullah iyalah Mengenali Allah dengan pengenalan yang khususus tiadalah dengan dituntut atau diusahai ,tetapi adalah dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya,
            Di dalam kitab Tukhfaturragibin menjeleskan bahwa tingkatan ma’rifah kepada Allah itu ada tiga perkaara;[1]
1. MA’RIFAH  ILMU YAQIN
 Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu mengenali Allah dengan secara ilmiyah, yaitu setelah mempelajri ilmu tauhid dengan mengerti dan dapat pula mendirikan dalil akal sendiri hingga tersimpullah dalam hatinya kepercayaan kepada Allah dan rasulnya, sehingga terhimpunlah dalam hatinya sifat-sifat kesucin tuhan dan kebesarannya. Inilah yang dikatakan شعاع البصيرة (cahaya mata hati) atau nurul akli tingkatan dan pengenalan ini dapat dipelajari dan diusahai.
شعاع البصيرة يشهدك قربه منك  وعين البصيرة يشهدك عدمك لوجوده وحق البصيرة يشهدك وجوده لا عدمك ولاوجودك  
Artinya:’’cahaya mata hati itu menyaksikan engkau akan kehampiran tuhan daripada mu, dan pandang mata hati itu menyaksikan engkau akan ketiadaan dirimu bagi adanya tuhan, dan kebenaran pandang mata hati itu membuktikan engkau akan adanya Allah, bukan menunjukan ketiadaan mu dan tidak  pula menunjukan adanya engkau.
2. MA’RIFAH AINUL YAQIN
Ma’rifah ainul yaqin, yaitu setelah mempelajari pengenalan yang pertama tadi ,maka diamalkanya dengan  bersenguh-sengguh. Maka jika Allah menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya, maka iya memandang kepada Allah dengan mata hatinya, dia tidak lagi memandang dirinya ada dan akwan sekalian, kerena semuanya itu telah pana dan binasa dalam pandangannya pada ketika itu, yang kedua ini dinamakan ainul basirah atau nurul ilmi. Dan ini tidak dapat dipelajari dari guru, tetapi iya adalah pembarian tuhan kepada siapa-siapa yang banyak mengemalkan pengenalan yang pertama tadi, seperti sabda nabi Muhammad saw :
  بما علم ورثه الله علم مالم يعلم  من عمل : Artinya :barang siapa meamalkan apa yang telah diketahuinya niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum lagi diketahuinya.
3. MA’RIFAH HAQQUL YAQIN
            Ma’rifah haqqul yaqin, yaitu setelah mencapai pengenalan yang kedua tadi. Dia tidak memandang lagi kepada ada dirinya atau tiadanya, hanya yang dipandangnya adalah zat yang maha suci. [2]
            Oleh kerena itu orang yang ‘arif (Orang yang kenal dengan Allah) kenal dengan sifat-sifatnya kenal dengan makhluknya seperti sabda nabi kita Saw : من عرف نفسه عرف ربه 
Artinya :siapa-siapa yang kenal akan dirinya kenallah iya akan tuhannya, maksudnya siapa-sipa mengenal dirinya bersifat lemah, faqir, hina tentulah tahu pula iya bahwa tuhannya itu bersifat kuasa, kaya, muliya dan lainnya. Allah telah mewahyukan kepada nabi daud alaihissalam katanya :Hai daud kenalilah aku dan kenalilah dirimu. Nabi daud menjawab hai tuhanku! Aku mengenali engkau dengan ke isaan, engkaulah yang tunggal, engkaulah yang kuasa lagi kekal,dan tahu pula aku bahwa diriku lemah dan binasa. Maka berfirman tuhan : hai daud sekarang engkau telah kenal akan daku. Tetapi hendaklah kita ingat bahwa pengenalan kepada Allah itu bertingkat-tingkat seperti yang telah disebutkan diatas tadi. Maka yang dikehendaki perketaan ‘arif billah itu iyalah pengenalan yang telah meningkat,orang yang telah bermujahadah beberapa lama masanya sehingga dibukakan Allah hijab. maksud mujahadah iyalah: orang yang berjalan menuju rahmatillahita’ala sungguh payah dan susah awalnya kerena saytan selalu mengganggu dan menghalangi dan menyimpangkan jalan kepada Allah dengan alat senjatanya yaitu nafsu dengan menghiasi oleh saytan akan nafsu hamba dengan macam-macam sayhwat kepada makhluk seperti: anak istri dan lainnya, atau dunia seperti harta, usaha, makanan serta kedudukan dan lainnya, maka jalan mujahadah ya’ni melawani nafsu adalah jalan selamat menuju Allah, kalau tiada mujahadah jadilah semua itu menghalangi ‘ibadah dan menuntut ilmu dan bila mujahadah maka Allah jadikan semua itu membantu kepada ta’at ‘ibadat kepada Allah,bersabda Rasulullah saw :خفت الجنة بالمكاره وخفت النارباشهوات    Arinya: dikelilingi jalan surga dengan segala yang dibenci nafsu dan dikelilingi jalan neraka dengan segala keinginan nafsu.
Alhasil ada empat macam yang menghalangi ibadah, dua macam yang tiada kelihatan yaitu nafsu dan saytan dan dua macam yang kelihatan yaitu makluk dan dunia, nafsu adalah musuh didalam diri hamba dan iya lebih jahat dan berbahaya dari tujuh puluh saytan kerena akal dan agama terkadang menjadi bingkuk kerena nafsu, sabda Rasulullah saw :أعدي عدوك نفسك التي بين جنبيك.Artinya :sepaling jahat musuh engkau adalah nafsu engkau yang letakanya diantara dua lambung engkau.[3]
            Abu Yazid Albustami  pernah berkata :berhenti aku selama dua belas tahun menimpa diriku (mujahadah) dan lima puluh tahun aku mencerminnya dan  satu tahun aku memperhatikan antara keduanya maka tiba-tiba tampaklah pada punggungku pengikat. Maka aku berusahalah memutuskannya selama lima tahun setelah diputus tampaklah pandanganku bahwa makhluk itu semunya mati, maka bertakbirlah aku atas merika empat kali.
Abu Yazid itu adalah satu-satunya wali besar yang telah sampai ma’rifatnya kepada Allah dengan terbuka hijab. Pada permulaannya dia mengerasi dirinya dengan mengerjakan ibadah yang payah-payah dan  berat terhadap nafsu, dan menghilangkan sifat-sifat kerusakan hati seperti ‘ujub, kibir,hiris, hiked, hasad, dan sebagainya. Menghilangkannya itu dengan amal taqwa, yaitu mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya. Amal taqwa itu adalah pekerjaan yang sangat berat, tidak mudah dikerjakan. Maka disangkanya bahwa dirinya telah bersih dari segala sifat kecelaan, setelah dia menilik kedalam hatinya tampaklah baginya bahwa pada hatinya bahwa masih ada ketinggalan siyrik khafii (riya) dan masih menilik kepada amal dan masih mengingat kepada pahala dalam beramal dan menakuti siksa jika meninggalkannya, dan meng ingini kepada karamat dan pembariyan. Kerena kalau masih mengharap-harap pembalasan dalam beramal adalah iya menghilangkan ikhlas, yang maksudnya hendaklah beramal itu kerena Allah semata-mata,inilah yang dinamakan ikhlas orang yang khawas. Setelah dibersihkannya semua sifat kerusakan itu serta digantikannya dengan sifat kepujian tebukalah baginya dinding kegelapan dirinya dan diya dapat berpandangan dengan orang yang menjadikannya dan berpaling dari makhluk sekalian kerna pandangannya tertuju kepada Dzat yang wajib ada.
            Abu Bakar Asy-Sybli pernah berkata demikian, “Allah Dzat yang Esa diketahui keesaan-Nya sebelum ada batasan dan huruf. Maha suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kala-Nya.”
            Berkaitan dengan ini,imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliyau dijawab,”Ma’rifat.”  Hal itu didasarkan pada firman Allah: (الذاريات:56)  وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون   Artinya: “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (ku).” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
            Oleh ibnu Abbas “illa a liya’budun “ (kecuali untuk menyembah-ku) diartikan “illa liya’rifuun” (kecuali untuk berma’rifat yaitu mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan allah).
            Imam Al-junaid berkata, “sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui sang pencipta atas keterciptaan dirinya; kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya; sifat keperbedaan sang pencipta dari sifat makhluk; sifat keperbedaan “ Dzat yang lama” dari “yang baru” (alam); menurut pada ajakan-nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat sang prnguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk sispa.”
            Menurut Abu Thayib Al-Maraghi, setiap unsure dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada allah. Akal, menurutnya, mamiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah member isyarat, dan ma’rifat member kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata imam Al-Junaid, tauhid berarti pengesa’an dzat yang esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-nya. Sesungguhnya dia dzat yang esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan, dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiaan, dan penyimbolan. Tak satu pun di semesta ala mini yang menyamai-nya. Dia adalah dzat yang maha mendengar dan melihat.
            Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar Az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama; artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap ateis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).
B.Sifat-sifat allah
            “Tauhid adalah pengetahuan anda bahwa bagi dzat allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifat-nya” kata Abu Hasan Al-Busyanji.
            Sementara Husin bin manshur mendefinisikanya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama. Menurutnya sifat “lama” adalah bagi-nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk menjadi adalah keharusan; sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan keberadaannya; sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahan waktu adalah lawannya; sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan disitu menjadi keniscayaan; dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan member perlindungan di mana tempat-nya berada, maka tuhan tidak berlindung di tempat atas, tidak di bawah, tida menerima pembatas, tidak didesak dengan keterhimpitan selain-nya di sisi-nya, tidak dijangkau oleh yang belakang, tidak dipagari oleh yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-nya, tidak dikumpulkan oleh yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak ada. Sifat-nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-nya tidak bersebab, keberadaan-nya tidak berbatas, segala-nya terbebas dari tingkah laku makhluk. Kemahapenciptaan-nya tidak ada pasangan-nya, perbuatan-nya tidak ada alasan. Keterdahuluan-nya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.
            Jika kamu mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka keberadaan-nya sungguh melampaui waktu yang berlalu; jika kamu mengatakan, “huwa” – kata ganti tunggal untuk allah yang berarti dia” ,maka huruf  “Ha’” dan “Wawu” itu sendiri adalah makhluk; dan jika kamu bertanya, “Dimana?”, maka keberadaan-nya telah mendahului tempat.
             Huruf-huruf adalah ayat-ayat nya (tanda-tanda-nya); keberadaan-nya adalah ketetapan-nya; ma’rifat-nya adalah pengesaan terhadap-nya; pengesaan-nya adalah membedakan-nya dari makhluk-nya. Apa yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-nya. Bagaimana sesuatu yang dari-nya; pengsaan-nya adlah membedakan-nya dari mkhluk-nya. Apa yang tergambar dalam khayalan  adalah berbeda dengan keadaan-nya .Bagaimana sesuatu yang dari-nya bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepada-nya apa yang telah disusun-nya.Perasangkaan-perasangkaan tidak mampu meneri tuhan. Kedekatan-nya adalah keramah-nya dan keterjauhan-nya. Ketinggian-nya tanpa naik; kedatangan-nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat yang pertama, Tarakhir, Tampak, Tersenmbunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada susuatu yang menyamai-nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.
            Yusuf bin Husin bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun Al-Mishri lalu bertanya, ‘Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh beliau dijawab, ‘hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja sama; penciptaan-nya tanpa sebab atau alasan; penyebab keterciptaan sesuatu itu sendiri juga ciptaan-nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi penciptaan-nya. Tak ada yang dilangit dan di bumi menjadi tinggi dan rendah sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukis di khayalan manusia adlah berbeda dengan kebaradaan Allah.
            Bagi Imam Al-Junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang tunggal dalam keabadin dan keterdahuluan-nya; tak ada pihak kedua yang menyertai-nya. Apa pun yang bergerak dialam tidak bekerja dengan sendirinya.[4]
            Menurut Abu husin An-Nuri, Tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar- Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab demikian, “ Tauhid adalah ketetapan hati secara kontinu dan stabil akan keesaan-Nya dengan penatapan pemisahan pengingkaran tuhan (ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan tuhan ). Tauid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang digambarkan khayal dan akal adalah bukan tuhan , Allah maha suci dari semua itu .
ليس كمثله شئ وهوالسميع البصير “Tak ada keserupaan sedikit pun bagi-nya.dia maha mendengar dan maha melihat. “(QS. Asy- Syuura: 11)
            Dzu nun Al-Mishri  pernah ditanya seseorang tentang ayat yang berbunyi :الرحمن على العرش استوى  “ Tuhan yang Maha pemurah, yang bersemayam diatas arasy. “ (QS. Thaha:5)
                                Lalu dijawab, “Dzat-nya tetap, tempat-nya tidak ada, sebab dia ada dengan dzat-nya; sedang segala Sesutu ada dengan hukumnya menurut kehndak-nya.’’
               Sedangkan menurut Asy- Syibli firman itu bermakna: Ar-rahman bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), Al-Arasy (singgasana-nya) bersifat baru,dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun ja’far bin Nashar mengertikannya bahwa ilmuny menyeluruh dengan segala sesuatu. Kerna itu, tak ada yang lebih dekat kepadanya dari sesuatu yang lain.  













PENUTUP
KESIMPULAN
             Dengan demikian Ma’rifatullah iyalah mengenali Allah dengan pengenalan khusus tiadalah dengan dituntut atau diusahai, tetapi dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya ,
            Ma’rifatullah itu ada tiga tingkatan           
1.      Ma’rifah imu yakin, yaitu mengenal Allah dengan secara ilmiyah serta dapat mendirikan dalil akal yang tahqik.
2.      Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu setelah mempelajari pengenenalan  yang pertama tadi,maka diamalkannya dengan bersungguh-sungguh ,jika Allah menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya, maka iya memandang Allah dengan mata hatinya.
3.      Ma’rifah haqqul yaqin, yaitu setelah iya mencapai pengenalan yang kedua tadi, maka iya tidak lagi memandang kepada ada dirinya atau tiadanya.
Sifat-sifat Allah swt.
Ketahuilh “ tauihid adalah pengetahuan anda bagi dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifatnya.
Bagi imam Al-junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah dzat yang tunggal dalam keabadian dan keterdahuluannya, tak ada pihak yang kedua yang menyertainya, apapun yang bergerak di alam tidak bekerja dengan sendirinya. Wallahu aa’lam bissawabb. 


DAFTAR PUSTAKA
1.      Muhammad sarani al-albi. 1983. Futuhal arifin fi bayani aa’maalissalikn walwasiliin ilallahita’ala.
2.      Abu Muhammad zaini annur hidayatullah.kitab sulukul abdi ila ma’rifatillah.
3.      Muhammad sarani al-alabi, 1975, Tukhfaturragibin fi bayani tarikissalikin.
4.      Abul Qasim Abdul karim hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, risalah Qusyairiyah sember kajian ilmu tasauf.


[1] Tukhfaturragibin fi bayani tarikissalikin .susunan asykh al haji Muhammad sarani,al albi
[2] Kitab futuhal ‘rifin fi bayani a’amalis salikin walwasilina ilallahi ta’ala,susunan asykh al haji Muhammad sarani al alibi,1983.hlm 37.
[3] Kitab sulukil abdi ila ma’rifatillah, hlm 22.
[4] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi,  Risalah Qusyairiyah sumber kajian ilmu tasauf, hlm  40,45.

1 komentar: