BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG.
Sumber pandangan Islam adalah Alqur`an dan Al-Hadist. Alqur`an
memandang bahwa khalifah manusia itu adalah ciptaan Ilahi dan menyebut insan
kamil sebagai imam. Dalam surah al Baqarah dijelaskan:
واذا ابـتـلـی ابـراهیـم ربه
بکلمات فـاتمهن قـال انـی جـاعلک للناس اماما
Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". (QS. Al Baqarah: 124)
Jadi, Alqur`an dan isyarat yang terdapat
dalam kitab Nahjul Balaghah, karya Sayidina Ali bin Abi Thalib dan hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh para imam Syiah dimana hal ini memerlukan penelitian
tersendiri, juga Muhammad bin Ali al Hakim at Turmudzi (wafat 255 H), Abu Yazid
Busthami (wafat 264 H) dan Husain bin Manshur al Hallaj (wafat 309 H) adalah
orang-orang yang pertama kali mempopularkan teori insan kamil.
Hallaj,
dengan bersandar kepada hadis Nabi saw :
(ان الله خلق آدم علـی صـورته)
“Sesungguhnya
Allah menciptakan Adam sesuai dengan gambarnya”
Meyakini bahwa manusia terdiri
dari dua unsur, yaitu karakter kemanusiaan (nasut) dan ketuhanan (lahut). Dua
karakter ini yang notabene tampak dualis namun dua-duanya sejatinya saling
menyatu dan bercampur.
B.
RUMUSAN MASALAH.
- Apa pengertian insanul kamil ?
- Apa hubungan wahdatul wujud dan insanul kamil ?
- Siapa-siapa tokoh-tokoh insanul kamil ?
- Apa konsep insanul kamil ?
C.
TUJUAN.
- Mengetahui pengertian insanul kamil.
- Mengetahui hubungan wahdatul wujud dan insanul kamil.
- Mengetahui tokoh-tokoh insanul kamil.
- Mengetahui konsep insanul kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN INSANUL KAMIL
Insanul Kamil atau manusia yang
sempurna menurut Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) adalah manusia cerminan
Tuhan.
Habib Adullah Al-Haddad
menjelaskan di dalam Al-Nafaisul Ulwiyah fil Mas`alatissufiyah, Wali
Quthub al-Ghaust adakalanya dikenal dengan nama khalifah, adakalanya pula
dikenal dengan nama insanul kamil.
Insan Kamil berasal dari bahasa
arab, yang berarti manusia yang sempurna. Insan Kamil artinya manusia yang
sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna
dalam hidupnya.
Insan kamil mengacu kepada
makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala hakikat dari
keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris, ia juga merupakan wadah
tajali, pancaran, atau manifestasi dari segenap nama dan sifat yang memancar
dari wujud mutlak (Tuhan).
Umat Islam sepakat bahwa di
antara manusia, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat
kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau
menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun
dalam diri Nabi SAW, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah
kering airnya.
Pola hidup dan kehidupan
Rasulullah SAW yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para
sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh.
Tuhan adalah Maha Suci, yang Maha
Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh ini dapat
dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan sedekat mungkin, dan kalaunya bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan
semasih berada di dalam hidup ini.[1]
Untuk mencapai Insanul Kamil,
seseoarang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi.
Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya.
Tentu prinsip ajran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa diukur
dengan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21-110 H) adalah
seorang zahiddan rohaniawan besar, beliaulah yang mula-mula memperbincangkan
berbagai macam yang berkaitan dengan kerohaniawan tentang ilmu akhlak yang erat
hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihakan hati dari sifat-sifat
tercela.
Hidup sufi yang dilalui oleh para
ahli sufi untuk menyempurnakan hidupnya dihadapan Tuhan, namun demikian cara
hidup sufi yang dilalui atau yang dijalani oleh para ahli sufi satu dengan yang
lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiatul Adawiyah (seorang sufi perempuan) yang
telah menghias sejarah lembaran sufi dalam abad kedua Hijriyah. Ajaran tasawuf
yang dibawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Ia
hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Segala
hidupnya diperuntukkan kepada Tuhannya dengan sadar rasa kecintaan.
Hasan Al-Basri dalam
menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup
kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak akan
kemegahan, semata menuju kepada Allah, khauf (takut) dan raja (mengharap)
keridhaan Allah. Di antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah :”
Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram lebih baik dan perasaan tentrammu
yang kemudian menimbulkan rasa takut”.[2]
Pendirian hidup dan pengalaman
tasawuf Hasan Al-Basri itu dijadikan pedoman bagi seluruh ahli tasawuf dalam
usahanya mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran mahabbah yang dibawa oleh Rabiatul
Adawiyah merupakan kelanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud yang dikembangkan
oleh Hasan Al-Basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi daripada takut dan
pengharapan.[3]
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri
dan Rabiatul Adawiyah. Lain pula Zunnun Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H.
Selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang filosof. Ajaran tasawuf yang
dibawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma`rifat. Menurutnya ma`rifat adalah
cahaya yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dalam dunia masyarakatnya tempat
berkembang seringkali menghadapi problema seperti kesenjangan antara
nilai-nilai dunyawiyah dengan nilai-nilai ukhrawiyah. Dalam situasi yang
demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang
tertarik menempuh jalan tasawuf yang lebih dapat memadukan keseimbangan antara
urusan duniawi dan ukhrawi.
- HUBUNGAN WAHDATUL WUJUD DAN INSANUL KAMIL
Kata
“Wahdatul Wujud” berarti kesatuan yang wujud. Dalam kata bahasa inggris UNITY
OF EXISTENCE. Paham ini merubah sifat nafsu yang ada dalam hulul menjadi Khalaq
(makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (tuhan). Keduanya (khalaq dan haq)
menjadi suatu aspek. Khalaq menjadi aspek di sebelah luar dan Haq menjadi aspek
sebelah dalam. Kata Khalaq dan Haq menjadi sinonim dari kata “Al-Ard” dan
“Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir” (lahir, luar) dan “Al-Bathin” (dalam).
Aspek
Ard dan Khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam (jauhar dan haq)
mempunyai sifat ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud itu terdapat sifat
ketuhanan (haq) dan kemakhlukan (khalaq).
Aspek
terpenting dari dua hal tersebut ialah aspek haq yang merupakan bathin jauhar
(substance) dan hakikat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq hanya
merupakan ‘ard, sesuatu yang mendatang. Karena itulah alam dipandang sebagai
cermin bagi Tuhan. Semua benda-benda yang ada dalam alam bagaikan gambar dalam
cermin yang esensinya telah terdapat pada sifat-sifat Tuhan.
Sebagai
pokok persoalan Wahdatul Wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai
mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah
wujud bayangan. Pemikiran filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep
Insanul Kamil atau manusia yang sempurna.
"Insan
Kamil'' makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal
dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia.
''Insan'' berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan
dengan manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam pengertian manusia yang
memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam
pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia
yang sempurna dalam pengertian rohani.
C.
TOKOH SUFI WAHDATUL WUJUD, INSANUL KAMIL DAN
AJARANNYA.
Faham Wahdad Al-Wujud dan Insanul
Kamil diajarkan oleh Muhy Al-Qin Ibnu Arabi. Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad
ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada
tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki
”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama).
Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah
Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui
murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi
intelektual maupun filosofis.[4]
Ibnu Arabi belajar di Seville,
kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam
aliran sufi.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah
pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn
’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun
(al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu,
sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial
yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi
penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian
hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada
pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid.
Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.[5]
Pada tahun 1202 M Ibni Arabi
pergi ke Mekkah. Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di
Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai
akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din,
ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti
Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen
berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah)
untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun
menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang
menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa
dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris
seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan terutama hadis.[6]
Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi antara lain : Mesir, Syiria, Irak, Turki dan akhirnya ia
menetap di Damaskus. Di sana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M.
Di antara karya beliau yang
terkenal adalah buku dalam bidang tasawuf yang berjudul “ Al-Futuhat
Al-Makkiyah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di mekkah) dengan tersusun
sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “ Futuh Al-Hikmah”
(pemata-permata hikmah).
Menurt pemikiran tasawufnya,
bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya alam,
alam merupakan cermin bagi Tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam karena
esensinya ialah sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbullah
faham kesatuan wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan
banyak, pada hakikatnya itu semua satu. Tak ubahnya sebagai oarang yang melihat
dirinya dalam bebrapa cemin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap
cemin ia lihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan banyak,
tetapi dirinya hanyalah satu.
Sebagai dijelaskan dalam Fusus
Al-Hikam wajah sebenarnya hanyalah satu, tetapi kalau cermin diperbanyak wajah
kelihatannya banyak pula. Atau sebagai kata parmenides, yang ada itu satu, yang
banyak hanyalah ilusi.
Ringkasannya dalam tasawuf Ibnu Arabi
yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya
mempunyai wujud satu dengan Tuhan.[7]
Ibnu Farud dari Cairo (1181-1235
M) menimbulkan faham Al-Haqiqah Al-Muhammadiah (konsep Muhammad). Menurut
fahamnya Al-Haqiqah Al-Muhammadiah diciptakan Tuhan semenjak azal sesuai dengan
bentu-Nya sendiri. Oleh karena itu orang ingin tahu Tuhan, harus berusaha
mencapai Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) membawa filasat Insanul Kamil
(manusia yang sempurna). Manusia yang semourna adalah Al-Insan Al-Kamil sama
dengan Annur Al-Muhammadiah atau Al-Haqiqah A-Muhammadiah tersebut di atas dan
merupakan cermin bagi Tuhan.
D.
KONSEP INSANUL KAMIL.
1)
Ibn Arabi.
Ketika Ibn Arabi membahas
manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan
manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia
sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia
sempurna secara individual.
Menurut Ibn Arabi hanya insan
kamil yang memiliki kemungkinan mengenal Tuhan secara pasti dan benar, dan
melalui insan kamil, Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil
adalah iradah dan ilmu Tuhan yang di manifestasikan.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan
istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf.
Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan
cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut”
dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau esensi
tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan
secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun
terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut
sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi internal/batin.
Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu secara nyata,
Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi dan
para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli
dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan
banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan
dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau
lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat
Islam yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan. Dalam beberapa abad yang
lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis
untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu
diskursus klasik mistik teoritis.
Ibn Arabi memandang bahwa insan
kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk
(pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah
potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih
baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena
kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan
penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
2)
Murtadha Muthahari.
Berbeda dengan Ibn Arabi yang
mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji
insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun
sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang
menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf
negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik
tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama
serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan
pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa
Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath
(ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran
kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan
hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain.
Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut pelbagai nilai
dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh sosok petapa
yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena
kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid
yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili
oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macan kumbang yang selalu siap
menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan
orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal
namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan
menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil
tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana mensenandungkan nyacian
cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya mendekati Tuhan-Nya dengan
syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal. Sebab,
baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok
manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bijak secara
proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual
dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq
(pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi
(hamba sejati) Wajibul Wujud.
Saat menjelaskan bentuk
kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi :
اِنَّ خَلَقْنا
الإنْسَان مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا
بَصِيْرَا(2)
اِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا
وَاِمَّا كَفُوْرًا(3)
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)
Lalu beliau mengemukakan: “Ini
berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan dibiarkan bebas untuk
membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau hukuman atas perbuatannya.
Makhluk lain tak mendapatkan semua itu.
Manusia harus memilih jalannya
sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui pengendalian dan penyeimbangan
diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Ini serupa dengan kesempurnaan
fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh. Bila seluruh organ dan anggota
badannya sehat dan berkembang secara harmonis, maka secara fisik ia sempurna.
Tetapi, bila ia tumbuh seperti kartun yang sebagian organ dan anggota badannya
berkembang berlebihan sedang yang lain sama sekali tidak tumbuh atau hanya
tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai kesempurnaan fisik. Jadi, perkembangan
yang harmonis dan menyeluruh dapat menghasilkan kesempurnaan. Imam Ali adalah
manusia sempurna karena semua nilai manusiawi tumbuh secara maksimum dan
harmonis dalam dirinya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Insan Kamil berasal dari bahasa
arab, yang berarti manusia yang sempurna. Insan Kamil artinya manusia yang
sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna
dalam hidupnya.
Umat Islam sepakat bahwa di
antara manusia, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat
kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau
menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun
dalam diri Nabi SAW.
Pola hidup dan kehidupan
Rasulullah SAW yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para
sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh.
Konsep insanul kamil :
1.
Menurut Ibn Arabi hanya insan kamil yang memiliki
kemungkinan mengenal Tuhan secara pasti dan benar, dan melalui insan kamil, Tuhan
mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil adalah iradah dan ilmu Tuhan
yang di manifestasikan.
2.
Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan
kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam
bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn
Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan
mengembangkan asma Allah secara proporsional
DAFTAR PUSTAKA
Zahruddin AR, Pengantar Studi
Akhlak, 2004, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Abdullah bin Alawi Al-Haddad, 162
Masalah Sufistik, Diterjemahkan olehYunus bin Ali Al-Muhdhor, 2012,
Surabaya, Cahaya Ilmu Publisher.
H.A.Mustofa, Akhlak Tasawuf,
2008, Bandung, Pustaka Setia.
Http//www.arisandi.com/insan-kamil, 12 april 2012,
pukul 17:35.
[1] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari beerbagai aspeknya,
jilid II, UI Press, 1979, hal. 72.
[2] Drs Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf,
Rajawali Press, 1993, hal. 164.
[3] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT
Pusaka Panjimas, Jakarta, 1984, hal. 29.
[4] Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003, hal. 64.
[5] Addas, 2004,hal. 43.
[6] Chittick dalam Nasr, 66.
[7] Drs. Nasution, Op. Cit, hal.88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar