Selasa, 01 Januari 2013

insanul kamil


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG.
Sumber pandangan Islam  adalah Alqur`an dan Al-Hadist. Alqur`an memandang bahwa khalifah manusia itu adalah ciptaan Ilahi dan menyebut insan kamil sebagai imam. Dalam surah al Baqarah dijelaskan:
واذا ابـتـلـی ابـراهیـم ربه بکلمات فـاتمهن قـال انـی جـاعلک للناس اماما
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". (QS. Al Baqarah: 124)
     Jadi, Alqur`an dan isyarat yang terdapat dalam kitab Nahjul Balaghah, karya Sayidina Ali bin Abi Thalib dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syiah dimana hal ini memerlukan penelitian tersendiri, juga Muhammad bin Ali al Hakim at Turmudzi (wafat 255 H), Abu Yazid Busthami (wafat 264 H) dan Husain bin Manshur al Hallaj (wafat 309 H) adalah orang-orang yang pertama kali mempopularkan teori insan kamil.
Hallaj, dengan bersandar kepada hadis Nabi saw :
(ان الله خلق آدم علـی صـورته)
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan gambarnya”
Meyakini bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu karakter kemanusiaan (nasut) dan ketuhanan (lahut). Dua karakter ini yang notabene tampak dualis namun dua-duanya sejatinya saling menyatu dan bercampur.
B.     RUMUSAN MASALAH.
  1. Apa pengertian insanul kamil ?
  2. Apa hubungan wahdatul wujud dan insanul kamil ?
  3. Siapa-siapa tokoh-tokoh insanul kamil ?
  4. Apa konsep insanul kamil ?

C.     TUJUAN.
  1. Mengetahui pengertian insanul kamil.
  2. Mengetahui hubungan wahdatul wujud dan insanul kamil.
  3. Mengetahui tokoh-tokoh insanul kamil.
  4. Mengetahui konsep insanul kamil.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN INSANUL KAMIL

Insanul Kamil atau manusia yang sempurna menurut Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) adalah manusia cerminan Tuhan.
Habib Adullah Al-Haddad menjelaskan di dalam Al-Nafaisul Ulwiyah fil Mas`alatissufiyah, Wali Quthub al-Ghaust adakalanya dikenal dengan nama khalifah, adakalanya pula dikenal dengan nama insanul kamil.
Insan Kamil berasal dari bahasa arab, yang berarti manusia yang sempurna. Insan Kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna dalam hidupnya.
Insan kamil mengacu kepada makhluk pertama, merupakan hakikat yang menghimpun segala hakikat dari keanekaragaman yang terdapat dalam alam empiris, ia juga merupakan wadah tajali, pancaran, atau manifestasi dari segenap nama dan sifat yang memancar dari wujud mutlak (Tuhan).
Umat Islam sepakat bahwa di antara manusia, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam diri Nabi SAW, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya.
Pola hidup dan kehidupan Rasulullah SAW yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh.
Tuhan adalah Maha Suci, yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, dan kalaunya bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada di dalam hidup ini.[1]
Untuk mencapai Insanul Kamil, seseoarang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjolkan segi kerohaniannya dalam kehidupannya. Tentu prinsip ajran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa diukur dengan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21-110 H) adalah seorang zahiddan rohaniawan besar, beliaulah yang mula-mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan dengan kerohaniawan tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihakan hati dari sifat-sifat tercela.
Hidup sufi yang dilalui oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan hidupnya dihadapan Tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau yang dijalani oleh para ahli sufi satu dengan yang lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiatul Adawiyah (seorang sufi perempuan) yang telah menghias sejarah lembaran sufi dalam abad kedua Hijriyah. Ajaran tasawuf yang dibawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabbah”, atau cinta. Ia hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Segala hidupnya diperuntukkan kepada Tuhannya dengan sadar rasa kecintaan.
Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud terhadap dunia, menolak akan kemegahan, semata menuju kepada Allah, khauf (takut) dan raja (mengharap) keridhaan Allah. Di antara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah :” Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram lebih baik dan perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut”.[2]
Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu dijadikan pedoman bagi seluruh ahli tasawuf dalam usahanya mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran mahabbah yang dibawa oleh Rabiatul Adawiyah merupakan kelanjutan dari tingkatan kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al-Basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan.[3]
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiatul Adawiyah. Lain pula Zunnun Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H. Selain sebagai seorang sufi, beliau juga seorang filosof. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh beliau dikenal dengan istilah Ma`rifat. Menurutnya ma`rifat adalah cahaya yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dalam dunia masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema seperti kesenjangan antara nilai-nilai dunyawiyah dengan nilai-nilai ukhrawiyah. Dalam situasi yang demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf yang lebih dapat memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi.
  1. HUBUNGAN WAHDATUL WUJUD DAN INSANUL KAMIL

Kata “Wahdatul Wujud” berarti kesatuan yang wujud. Dalam kata bahasa inggris UNITY OF EXISTENCE. Paham ini merubah sifat nafsu yang ada dalam hulul menjadi Khalaq (makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq (tuhan). Keduanya (khalaq dan haq) menjadi suatu aspek. Khalaq menjadi aspek di sebelah luar dan Haq menjadi aspek sebelah dalam. Kata Khalaq dan Haq menjadi sinonim dari kata “Al-Ard” dan “Al-Jauhar” dan juga dari “Al-Zahir” (lahir, luar) dan “Al-Bathin” (dalam).
Aspek Ard dan Khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam (jauhar dan haq) mempunyai sifat ketuhanan. Sehingga setiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan (haq) dan kemakhlukan (khalaq).
Aspek terpenting dari dua hal tersebut ialah aspek haq yang merupakan bathin jauhar (substance) dan hakikat tiap-tiap yang berwujud. Dan aspek khalaq hanya merupakan ‘ard, sesuatu yang mendatang. Karena itulah alam dipandang sebagai cermin bagi Tuhan. Semua benda-benda yang ada dalam alam bagaikan gambar dalam cermin yang esensinya telah terdapat pada sifat-sifat Tuhan.
Sebagai pokok persoalan Wahdatul Wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Pemikiran filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep Insanul Kamil atau manusia yang sempurna.
"Insan Kamil'' makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ''Insan'' berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia. ''Insan'' berbeda maknanya dengan ''basyar'' yang juga diterjemahkan dengan manusia. ''Insan'' berarti manusia dalam pengertian manusia yang memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ''insan kamil'' adalah manusia yang sempurna dalam pengertian rohani.




C.     TOKOH SUFI WAHDATUL WUJUD, INSANUL KAMIL DAN AJARANNYA.

Faham Wahdad Al-Wujud dan Insanul Kamil diajarkan oleh Muhy Al-Qin Ibnu Arabi. Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis.[4]
Ibnu Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi.
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi.[5]
Pada tahun 1202 M Ibni Arabi pergi ke Mekkah. Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan terutama hadis.[6] Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi antara lain :  Mesir, Syiria, Irak, Turki dan akhirnya ia menetap di Damaskus. Di sana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M.
Di antara karya beliau yang terkenal adalah buku dalam bidang tasawuf yang berjudul “ Al-Futuhat Al-Makkiyah” (pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “ Futuh Al-Hikmah” (pemata-permata hikmah).
Menurt pemikiran tasawufnya, bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya alam, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya ialah sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbullah faham kesatuan wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan banyak, pada hakikatnya itu semua satu. Tak ubahnya sebagai oarang yang melihat dirinya dalam bebrapa cemin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cemin ia lihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanyalah satu.
Sebagai dijelaskan dalam Fusus Al-Hikam wajah sebenarnya hanyalah satu, tetapi kalau cermin diperbanyak wajah kelihatannya banyak pula. Atau sebagai kata parmenides, yang ada itu satu, yang banyak hanyalah ilusi.
Ringkasannya dalam tasawuf Ibnu Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud satu dengan Tuhan.[7]
Ibnu Farud dari Cairo (1181-1235 M) menimbulkan faham Al-Haqiqah Al-Muhammadiah (konsep Muhammad). Menurut fahamnya Al-Haqiqah Al-Muhammadiah diciptakan Tuhan semenjak azal sesuai dengan bentu-Nya sendiri. Oleh karena itu orang ingin tahu Tuhan, harus berusaha mencapai Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) membawa filasat Insanul Kamil (manusia yang sempurna). Manusia yang semourna adalah Al-Insan Al-Kamil sama dengan Annur Al-Muhammadiah atau Al-Haqiqah A-Muhammadiah tersebut di atas dan merupakan cermin bagi Tuhan.


D.    KONSEP INSANUL KAMIL.

1)      Ibn Arabi.
Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual.
Menurut Ibn Arabi hanya insan kamil yang memiliki kemungkinan mengenal Tuhan secara pasti dan benar, dan melalui insan kamil, Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil adalah iradah dan ilmu Tuhan yang di manifestasikan.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat Islam yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis.
Ibn Arabi memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
2)      Murtadha Muthahari.
Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut pelbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macan kumbang yang selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bijak secara proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.
Saat menjelaskan bentuk kesempurnaan manusia, Muthahari menyitir ayat Alquran yang berbunyi :
اِنَّ خَلَقْنا الإنْسَان مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرَا(2)
 اِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَاِمَّا كَفُوْرًا(3)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al Insan: 2-3)
Lalu beliau mengemukakan: “Ini berarti, manusia telah dianugerahi banyak kemampuan dan dibiarkan bebas untuk membuktikan apakah ia patut memperoleh pahala atau hukuman atas perbuatannya. Makhluk lain tak mendapatkan semua itu.
Manusia harus memilih jalannya sendiri, dan ia mendapatkan kesempurnaan melalui pengendalian dan penyeimbangan diri dan dengan mengerahkan semua kemampuannya. Ini serupa dengan kesempurnaan fisik. Perhatikanlah seorang bocah yang tumbuh. Bila seluruh organ dan anggota badannya sehat dan berkembang secara harmonis, maka secara fisik ia sempurna. Tetapi, bila ia tumbuh seperti kartun yang sebagian organ dan anggota badannya berkembang berlebihan sedang yang lain sama sekali tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit, ia tak akan mencapai kesempurnaan fisik. Jadi, perkembangan yang harmonis dan menyeluruh dapat menghasilkan kesempurnaan. Imam Ali adalah manusia sempurna karena semua nilai manusiawi tumbuh secara maksimum dan harmonis dalam dirinya.




























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Insan Kamil berasal dari bahasa arab, yang berarti manusia yang sempurna. Insan Kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna dalam hidupnya.
Umat Islam sepakat bahwa di antara manusia, Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap peri kehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam diri Nabi SAW.
Pola hidup dan kehidupan Rasulullah SAW yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh.

Konsep insanul kamil :
1.      Menurut Ibn Arabi hanya insan kamil yang memiliki kemungkinan mengenal Tuhan secara pasti dan benar, dan melalui insan kamil, Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, karena insan kamil adalah iradah dan ilmu Tuhan yang di manifestasikan.
2.      Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional


DAFTAR PUSTAKA

Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, 2004, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Abdullah bin Alawi Al-Haddad, 162 Masalah Sufistik, Diterjemahkan olehYunus bin Ali Al-Muhdhor, 2012, Surabaya, Cahaya Ilmu Publisher.

H.A.Mustofa, Akhlak Tasawuf, 2008, Bandung, Pustaka Setia.

Http//www.arisandi.com/insan-kamil, 12 april 2012, pukul 17:35.


[1] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam ditinjau dari beerbagai aspeknya, jilid II, UI Press, 1979, hal. 72.
[2] Drs Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali Press, 1993, hal. 164.
[3] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT Pusaka Panjimas, Jakarta, 1984, hal. 29.
[4] Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003, hal. 64.
[5] Addas, 2004,hal.  43.
[6] Chittick dalam Nasr, 66.
[7] Drs. Nasution, Op. Cit, hal.88.

ma'rifatullah



BAB I
MA’RIFATULLAH
A.LATAR BELAKANG
            Ma’rifatullah iyalah Mengenali Allah dengan pengenalan yang khususus tiadalah dengan dituntut atau diusahai ,tetapi adalah dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya,
            Di dalam kitab Tukhfaturragibin menjeleskan bahwa tingkatan ma’rifah kepada Allah itu ada tiga perkaara;[1]
1. MA’RIFAH  ILMU YAQIN
 Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu mengenali Allah dengan secara ilmiyah, yaitu setelah mempelajri ilmu tauhid dengan mengerti dan dapat pula mendirikan dalil akal sendiri hingga tersimpullah dalam hatinya kepercayaan kepada Allah dan rasulnya, sehingga terhimpunlah dalam hatinya sifat-sifat kesucin tuhan dan kebesarannya. Inilah yang dikatakan شعاع البصيرة (cahaya mata hati) atau nurul akli tingkatan dan pengenalan ini dapat dipelajari dan diusahai.
شعاع البصيرة يشهدك قربه منك  وعين البصيرة يشهدك عدمك لوجوده وحق البصيرة يشهدك وجوده لا عدمك ولاوجودك  
Artinya:’’cahaya mata hati itu menyaksikan engkau akan kehampiran tuhan daripada mu, dan pandang mata hati itu menyaksikan engkau akan ketiadaan dirimu bagi adanya tuhan, dan kebenaran pandang mata hati itu membuktikan engkau akan adanya Allah, bukan menunjukan ketiadaan mu dan tidak  pula menunjukan adanya engkau.
2. MA’RIFAH AINUL YAQIN
Ma’rifah ainul yaqin, yaitu setelah mempelajari pengenalan yang pertama tadi ,maka diamalkanya dengan  bersenguh-sengguh. Maka jika Allah menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya, maka iya memandang kepada Allah dengan mata hatinya, dia tidak lagi memandang dirinya ada dan akwan sekalian, kerena semuanya itu telah pana dan binasa dalam pandangannya pada ketika itu, yang kedua ini dinamakan ainul basirah atau nurul ilmi. Dan ini tidak dapat dipelajari dari guru, tetapi iya adalah pembarian tuhan kepada siapa-siapa yang banyak mengemalkan pengenalan yang pertama tadi, seperti sabda nabi Muhammad saw :
  بما علم ورثه الله علم مالم يعلم  من عمل : Artinya :barang siapa meamalkan apa yang telah diketahuinya niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum lagi diketahuinya.
3. MA’RIFAH HAQQUL YAQIN
            Ma’rifah haqqul yaqin, yaitu setelah mencapai pengenalan yang kedua tadi. Dia tidak memandang lagi kepada ada dirinya atau tiadanya, hanya yang dipandangnya adalah zat yang maha suci. [2]
            Oleh kerena itu orang yang ‘arif (Orang yang kenal dengan Allah) kenal dengan sifat-sifatnya kenal dengan makhluknya seperti sabda nabi kita Saw : من عرف نفسه عرف ربه 
Artinya :siapa-siapa yang kenal akan dirinya kenallah iya akan tuhannya, maksudnya siapa-sipa mengenal dirinya bersifat lemah, faqir, hina tentulah tahu pula iya bahwa tuhannya itu bersifat kuasa, kaya, muliya dan lainnya. Allah telah mewahyukan kepada nabi daud alaihissalam katanya :Hai daud kenalilah aku dan kenalilah dirimu. Nabi daud menjawab hai tuhanku! Aku mengenali engkau dengan ke isaan, engkaulah yang tunggal, engkaulah yang kuasa lagi kekal,dan tahu pula aku bahwa diriku lemah dan binasa. Maka berfirman tuhan : hai daud sekarang engkau telah kenal akan daku. Tetapi hendaklah kita ingat bahwa pengenalan kepada Allah itu bertingkat-tingkat seperti yang telah disebutkan diatas tadi. Maka yang dikehendaki perketaan ‘arif billah itu iyalah pengenalan yang telah meningkat,orang yang telah bermujahadah beberapa lama masanya sehingga dibukakan Allah hijab. maksud mujahadah iyalah: orang yang berjalan menuju rahmatillahita’ala sungguh payah dan susah awalnya kerena saytan selalu mengganggu dan menghalangi dan menyimpangkan jalan kepada Allah dengan alat senjatanya yaitu nafsu dengan menghiasi oleh saytan akan nafsu hamba dengan macam-macam sayhwat kepada makhluk seperti: anak istri dan lainnya, atau dunia seperti harta, usaha, makanan serta kedudukan dan lainnya, maka jalan mujahadah ya’ni melawani nafsu adalah jalan selamat menuju Allah, kalau tiada mujahadah jadilah semua itu menghalangi ‘ibadah dan menuntut ilmu dan bila mujahadah maka Allah jadikan semua itu membantu kepada ta’at ‘ibadat kepada Allah,bersabda Rasulullah saw :خفت الجنة بالمكاره وخفت النارباشهوات    Arinya: dikelilingi jalan surga dengan segala yang dibenci nafsu dan dikelilingi jalan neraka dengan segala keinginan nafsu.
Alhasil ada empat macam yang menghalangi ibadah, dua macam yang tiada kelihatan yaitu nafsu dan saytan dan dua macam yang kelihatan yaitu makluk dan dunia, nafsu adalah musuh didalam diri hamba dan iya lebih jahat dan berbahaya dari tujuh puluh saytan kerena akal dan agama terkadang menjadi bingkuk kerena nafsu, sabda Rasulullah saw :أعدي عدوك نفسك التي بين جنبيك.Artinya :sepaling jahat musuh engkau adalah nafsu engkau yang letakanya diantara dua lambung engkau.[3]
            Abu Yazid Albustami  pernah berkata :berhenti aku selama dua belas tahun menimpa diriku (mujahadah) dan lima puluh tahun aku mencerminnya dan  satu tahun aku memperhatikan antara keduanya maka tiba-tiba tampaklah pada punggungku pengikat. Maka aku berusahalah memutuskannya selama lima tahun setelah diputus tampaklah pandanganku bahwa makhluk itu semunya mati, maka bertakbirlah aku atas merika empat kali.
Abu Yazid itu adalah satu-satunya wali besar yang telah sampai ma’rifatnya kepada Allah dengan terbuka hijab. Pada permulaannya dia mengerasi dirinya dengan mengerjakan ibadah yang payah-payah dan  berat terhadap nafsu, dan menghilangkan sifat-sifat kerusakan hati seperti ‘ujub, kibir,hiris, hiked, hasad, dan sebagainya. Menghilangkannya itu dengan amal taqwa, yaitu mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya. Amal taqwa itu adalah pekerjaan yang sangat berat, tidak mudah dikerjakan. Maka disangkanya bahwa dirinya telah bersih dari segala sifat kecelaan, setelah dia menilik kedalam hatinya tampaklah baginya bahwa pada hatinya bahwa masih ada ketinggalan siyrik khafii (riya) dan masih menilik kepada amal dan masih mengingat kepada pahala dalam beramal dan menakuti siksa jika meninggalkannya, dan meng ingini kepada karamat dan pembariyan. Kerena kalau masih mengharap-harap pembalasan dalam beramal adalah iya menghilangkan ikhlas, yang maksudnya hendaklah beramal itu kerena Allah semata-mata,inilah yang dinamakan ikhlas orang yang khawas. Setelah dibersihkannya semua sifat kerusakan itu serta digantikannya dengan sifat kepujian tebukalah baginya dinding kegelapan dirinya dan diya dapat berpandangan dengan orang yang menjadikannya dan berpaling dari makhluk sekalian kerna pandangannya tertuju kepada Dzat yang wajib ada.
            Abu Bakar Asy-Sybli pernah berkata demikian, “Allah Dzat yang Esa diketahui keesaan-Nya sebelum ada batasan dan huruf. Maha suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan tidak ada huruf bagi kala-Nya.”
            Berkaitan dengan ini,imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang permulaan kewajiban yang diwajibkan Allah pada hamba-Nya yang oleh beliyau dijawab,”Ma’rifat.”  Hal itu didasarkan pada firman Allah: (الذاريات:56)  وما خلقت الجن والانس الا ليعبدون   Artinya: “Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (ku).” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
            Oleh ibnu Abbas “illa a liya’budun “ (kecuali untuk menyembah-ku) diartikan “illa liya’rifuun” (kecuali untuk berma’rifat yaitu mengetahui, sadar, dan yakin akan keberadaan allah).
            Imam Al-junaid berkata, “sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui sang pencipta atas keterciptaan dirinya; kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya; sifat keperbedaan sang pencipta dari sifat makhluk; sifat keperbedaan “ Dzat yang lama” dari “yang baru” (alam); menurut pada ajakan-nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat sang prnguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk sispa.”
            Menurut Abu Thayib Al-Maraghi, setiap unsure dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada allah. Akal, menurutnya, mamiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah member isyarat, dan ma’rifat member kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata imam Al-Junaid, tauhid berarti pengesa’an dzat yang esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-nya. Sesungguhnya dia dzat yang esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-nya juga dengan peniadaan terhadap sesuatu yang berlawanan, kesamaan, dan keserupaan. Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiaan, dan penyimbolan. Tak satu pun di semesta ala mini yang menyamai-nya. Dia adalah dzat yang maha mendengar dan melihat.
            Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar Az-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama; artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap ateis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).
B.Sifat-sifat allah
            “Tauhid adalah pengetahuan anda bahwa bagi dzat allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifat-nya” kata Abu Hasan Al-Busyanji.
            Sementara Husin bin manshur mendefinisikanya dengan rumusan berbeda, meski nuansa artinya sama. Menurutnya sifat “lama” adalah bagi-nya. Karena itu, sesuatu yang dengan jasad penampakannya dapat menjadi, maka penampakan untuk menjadi adalah keharusan; sesuatu yang dengan berbagai perangkat keterkumpulannya dapat menjadi, maka perangkat yang memperkuat keberadaannya untuk menjadi adalah keharusan, yaitu suatu keharusan menjadi atau mengada yang sifatnya untuk mempertahankan keberadaannya; sesuatu yang waktu merajutnya, maka pemisahan waktu adalah lawannya; sesuatu yang tegaknya berkaitan dengan lainnya, maka perekatan disitu menjadi keniscayaan; dan sesuatu yang khayalan mampu menerkamnya, maka penggambaran harus lebih mengunggulinya. Barangsiapa mencari dan member perlindungan di mana tempat-nya berada, maka tuhan tidak berlindung di tempat atas, tidak di bawah, tida menerima pembatas, tidak didesak dengan keterhimpitan selain-nya di sisi-nya, tidak dijangkau oleh yang belakang, tidak dipagari oleh yang depan, tidak dimunculkan oleh yang sebelum-nya, tidak dikumpulkan oleh yang terkumpul, tidak diadakan oleh yang ada, tidak ditiadakan oleh yang tidak ada. Sifat-nya tidak bersifat (bergambar), perbuatan-nya tidak bersebab, keberadaan-nya tidak berbatas, segala-nya terbebas dari tingkah laku makhluk. Kemahapenciptaan-nya tidak ada pasangan-nya, perbuatan-nya tidak ada alasan. Keterdahuluan-nya jelas dan kebaruan makhluk juga jelas.
            Jika kamu mengatakan, “waktu telah berlalu”, maka keberadaan-nya sungguh melampaui waktu yang berlalu; jika kamu mengatakan, “huwa” – kata ganti tunggal untuk allah yang berarti dia” ,maka huruf  “Ha’” dan “Wawu” itu sendiri adalah makhluk; dan jika kamu bertanya, “Dimana?”, maka keberadaan-nya telah mendahului tempat.
             Huruf-huruf adalah ayat-ayat nya (tanda-tanda-nya); keberadaan-nya adalah ketetapan-nya; ma’rifat-nya adalah pengesaan terhadap-nya; pengesaan-nya adalah membedakan-nya dari makhluk-nya. Apa yang tergambar dalam khayalan adalah berbeda dengan keberadaan-nya. Bagaimana sesuatu yang dari-nya; pengsaan-nya adlah membedakan-nya dari mkhluk-nya. Apa yang tergambar dalam khayalan  adalah berbeda dengan keadaan-nya .Bagaimana sesuatu yang dari-nya bertempat adalah permulaan sesuatu itu, atau kembali kepada-nya apa yang telah disusun-nya.Perasangkaan-perasangkaan tidak mampu meneri tuhan. Kedekatan-nya adalah keramah-nya dan keterjauhan-nya. Ketinggian-nya tanpa naik; kedatangan-nya tanpa berpindah. Dia adalah Dzat yang pertama, Tarakhir, Tampak, Tersenmbunyi, Dekat, Jauh, dan tidak ada susuatu yang menyamai-nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat.
            Yusuf bin Husin bercerita, “Ada seorang laki-laki berdiri di hadapan Dzun Nun Al-Mishri lalu bertanya, ‘Beritahukan padaku tentang makna tauhid?’ Lalu oleh beliau dijawab, ‘hendaknya engkau mengetahui bahwa kekuasaan Allah dalam segala hal tanpa kerja sama; penciptaan-nya tanpa sebab atau alasan; penyebab keterciptaan sesuatu itu sendiri juga ciptaan-nya. Karena itu, tidak ada sebab yang melatarbelakangi penciptaan-nya. Tak ada yang dilangit dan di bumi menjadi tinggi dan rendah sebagai bentuk pengaturan alam yang diatur selain Allah. Apa yang terlukis di khayalan manusia adlah berbeda dengan kebaradaan Allah.
            Bagi Imam Al-Junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah Dzat yang tunggal dalam keabadin dan keterdahuluan-nya; tak ada pihak kedua yang menyertai-nya. Apa pun yang bergerak dialam tidak bekerja dengan sendirinya.[4]
            Menurut Abu husin An-Nuri, Tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Abu Ali Ar- Rudzabari ketika ditanya tentang tauhid menjawab demikian, “ Tauhid adalah ketetapan hati secara kontinu dan stabil akan keesaan-Nya dengan penatapan pemisahan pengingkaran tuhan (ateisme) dan penyerupaan (penyekutuan tuhan ). Tauid mengkristal dalam satu kalimat, yaitu setiap apa yang digambarkan khayal dan akal adalah bukan tuhan , Allah maha suci dari semua itu .
ليس كمثله شئ وهوالسميع البصير “Tak ada keserupaan sedikit pun bagi-nya.dia maha mendengar dan maha melihat. “(QS. Asy- Syuura: 11)
            Dzu nun Al-Mishri  pernah ditanya seseorang tentang ayat yang berbunyi :الرحمن على العرش استوى  “ Tuhan yang Maha pemurah, yang bersemayam diatas arasy. “ (QS. Thaha:5)
                                Lalu dijawab, “Dzat-nya tetap, tempat-nya tidak ada, sebab dia ada dengan dzat-nya; sedang segala Sesutu ada dengan hukumnya menurut kehndak-nya.’’
               Sedangkan menurut Asy- Syibli firman itu bermakna: Ar-rahman bersifat kesenantiasaan (tidak bergeser), Al-Arasy (singgasana-nya) bersifat baru,dan Arasy pada Ar-Rahman bersemayam. Adapun ja’far bin Nashar mengertikannya bahwa ilmuny menyeluruh dengan segala sesuatu. Kerna itu, tak ada yang lebih dekat kepadanya dari sesuatu yang lain.  













PENUTUP
KESIMPULAN
             Dengan demikian Ma’rifatullah iyalah mengenali Allah dengan pengenalan khusus tiadalah dengan dituntut atau diusahai, tetapi dengan diberikan Allah kepada orang yang dikehendakinya ,
            Ma’rifatullah itu ada tiga tingkatan           
1.      Ma’rifah imu yakin, yaitu mengenal Allah dengan secara ilmiyah serta dapat mendirikan dalil akal yang tahqik.
2.      Ma’rifah ilmu yaqin, yaitu setelah mempelajari pengenenalan  yang pertama tadi,maka diamalkannya dengan bersungguh-sungguh ,jika Allah menghendaki akan dibukakannya hijab dirinya, maka iya memandang Allah dengan mata hatinya.
3.      Ma’rifah haqqul yaqin, yaitu setelah iya mencapai pengenalan yang kedua tadi, maka iya tidak lagi memandang kepada ada dirinya atau tiadanya.
Sifat-sifat Allah swt.
Ketahuilh “ tauihid adalah pengetahuan anda bagi dzat Allah tidak ada keserupaan dan tidak ada peniadaan bagi sifat-sifatnya.
Bagi imam Al-junaid, tauhid berarti pengetahuan dan pengakuan bahwa Allah adalah dzat yang tunggal dalam keabadian dan keterdahuluannya, tak ada pihak yang kedua yang menyertainya, apapun yang bergerak di alam tidak bekerja dengan sendirinya. Wallahu aa’lam bissawabb. 


DAFTAR PUSTAKA
1.      Muhammad sarani al-albi. 1983. Futuhal arifin fi bayani aa’maalissalikn walwasiliin ilallahita’ala.
2.      Abu Muhammad zaini annur hidayatullah.kitab sulukul abdi ila ma’rifatillah.
3.      Muhammad sarani al-alabi, 1975, Tukhfaturragibin fi bayani tarikissalikin.
4.      Abul Qasim Abdul karim hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, risalah Qusyairiyah sember kajian ilmu tasauf.


[1] Tukhfaturragibin fi bayani tarikissalikin .susunan asykh al haji Muhammad sarani,al albi
[2] Kitab futuhal ‘rifin fi bayani a’amalis salikin walwasilina ilallahi ta’ala,susunan asykh al haji Muhammad sarani al alibi,1983.hlm 37.
[3] Kitab sulukil abdi ila ma’rifatillah, hlm 22.
[4] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi,  Risalah Qusyairiyah sumber kajian ilmu tasauf, hlm  40,45.